Liang Shanbo dan Zhu Yingtai (Pinyin) atau di Indonesia orang lebih mengenalnya sebagai Sampek Engtay adalah kisah cinta legendaris yang berlatar jaman Jin Timur (265-420 CE). Kisah ini termasuk dalam 4 besar kisah legenda Tiongkok, disamping Kisah Ular Putih (Baishezhuan) , Si Gembala dan Gadis Penenun (Niulang Zhinu) , dan Meng Jiangnu yang meratap di Tembok Besar.
Mencari ilmu
1000 tahun yang lalu, di samping sungai Yushui, propinsi Zhejiang terdapat sebuah desa keluarga Zhu. Tuan Zhu di desa tersebut mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Yingtai. Ia baru saja berusia 19 tahun, ia tidak hanya pintar dan cantik, tetapi juga banyak belajar. Tetapi peraturan Tuan Zhu sangat ketat, pada hari-hari biasa tidak mengizinkan anak perempuannya keluar rumah. Hal ini membuat Yingtai sangat bermuram durja.
Suatu hari, Yingtai bermalas-malasan duduk di samping jendela memandang dan menikmati pemandangan musim semi yang indah. Di saat yang indah seperti ini memikirkan dirinya sendiri hanya bisa tinggal di dalam rumah, Yingtai diam-diam hatinya menjadi pilu.
Pada waktu itu, Yingtai melihat dari depan jendela sekelompok pelajar dari luar daerah yang pergi ke kota Hangzhou untuk mencari ilmu, hatinya sangat iri, lalu segera berlari memohon kepada ayahnya agar ia diizinkan pergi ke Hangzhou untuk menuntut ilmu. Ayahnya merasa sangat terkejut. Seorang anak perempuan, tiba-tiba ingin keluar rumah pergi ke luar kota untuk belajar? Ini sangat mustahil? Ayah secara tegas menolak permintaan Yingtai.
Yingtai mendapat penolakan, hatinya sangat tidak bahagia, lalu mengurung diri di dalam kamar berpura-pura sakit, tidak mau keluar menemui ayahnya, lalu dengan diam-diam mendiskusikan cara membujuk ayahnya dengan Yinxin, pembantunya.
Tuan Zhu mendengar anak perempuannya sakit, hatinya sangat khawatir. Pada waktu itu, Yinxin berlari masuk ke dalam rumah dan berkata kepada Tuannya,”Di luar ada seorang peramal, haruskah membiarkan ia masuk untuk meramalkan nasib nona?” Tuan zhu sedang gelisah, tidak tahu harus bagaimana baiknya, segera menjawab,”Cepat panggil dia masuk!”
Yang masuk adalah seorang peramal muda yang tampan. Tuan Zhu berkata, “Saya mempunyai seorang anak perempuan, ingin pergi ke Hangzhou untuk mencari ilmu, karena dia anak perempuan, saya tidak menyetujuinya, dia sepanjang hari selalu bersedih, sakit-sakitan, saya tidak tahu bagaimana baiknya, oleh karena itu secara khusus meminta tuan untuk meramalkannya.” Peramal itu lalu menanyakan tanggal lahir Yingtai dan menghitungnya, kemudian berkata pada Tuan Zhu,”Dilihat dari hasil ramalan, dengan tinggalnya nona di rumah, bisa banyak mendapat ketidakberuntungan dan banyak terkena penyakit, kemungkinan dengan menuntut ilmu di luar, bisa membaik.” Tuan Zhu begitu mendengar menjadi gelisah, lalu berkata,”Bagaimana bisa! Bagaimana bisa!” Yinxin dan peramal itu melihat wajah Tuan Zhu tersebut lalu tersenyum. Tuan Zhu berkata dengan tidak senang, “Apa yang kalian tertawakan?” Peramal itu menghentikan senyumannya, dan memanggil “Ayah”, kemudian menanggalkan baju dan topinya. Ternyata ia adalah Yingtai.
Tuan Zhu sangat marah. “Yingtai! Kamu berani mempermainkan ayahmu!” Yingtai menjawab,”Saya berpakaian seperti anak laki-laki, ayah juga tidak dapat mengenali saya, sekarang ayah bisa membiarkan saya untuk pergi sekolah?” Tuan Zhu berkata,”Ngawur! Sejak jaman dulu mana ada anak perempuan yang pergi sekolah? Di rumah membaca buku juga sudah cukup.” Yingtai berkata,”Di kota Hangzhou banyak guru yang terkenal, saya pergi ke sana demi menuntut ilmu dan menambah pengetahuan.” Yinxin juga membantu membelanya,”Nona setiap hari murung di dalam rumah, kalau sampai sakit akan gawat.”. “Ini…” Tuan Zhu pada saat itu tidak bisa berkata-kata. Yingtai melihat ayahnya tergugah, lalu menyadarkan ayahnya dan berkata,”Tahun ini keluarga kerajaan mencari dayang istana, jika saya terpilih masuk istana, kita tidak bisa bertemu lagi selamanya.” Tuan Zhu lama berpikir, mendesah panjang, berkata tanpa ada jalan lain,”Kalau begitu, sebaiknya mengizinkan kamu pergi untuk menghindar sementara waktu, tetapi kamu harus ingat, pertama, sekolah di luar, sama sekali jangan membuka identitasmu, kedua, sekolah tiga tahun penuh, harus tepat waktu kembali, ketiga, jika di rumah ada masalah, begitu melihat surat dari rumah, segera kembali ke rumah.” Yingtai menyetujui permintaan ayahnya dengan gembira.
Yingtai berpakaian seperti pelajar pria, Yinxin berpakaian seperti Shutong. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada ayahnya, lalu berangkat.
Mengikat persaudaraan
Bunga bermekaran, rumput menghijau, pemandangan di musim semi begitu indah. Yingtai dan Yinxin bahagia sama seperti burung yang keluar dari sangkar.
Mereka di perjalanan bercakap-cakap, bernyanyi, dan berjingkrak-jingkrak. Setelah lelah berjalan, mereka beristirahat di sebuah paviliun di samping jalan. Mereka baru saja duduk sebentar, dua orang datang menghampiri. Orang yang berjalan di depan adalah seorang pelajar muda, yang mengikuti dibelakangnya adalah seorang Shutong. Setelah pelajar itu melihat Yingtai, sikapnya sangat wajar. Pelajar itu menghampiri dan memberi hormat pada Yingtai. Mereka duduk dan bercakap-cakap. Ternyata pelajar itu juga pergi menuntut ilmu ke Hangzhou. Ia bermarga Liang, namanya Shanbo, berasal dari Guiji.
Yinxin mengingatkan Yingtai untuk berangkat, dan kelepasan bicara memangil,“Nona…” Shanbo mendengar sepintas lalu kebingungan. Yingtai segera mengalihkan pembicaraan,“Nona baik-baik saja di rumah, kamu mengungkitnya untuk apa?” Yinxin berkata,”Saya rasa jika nona bisa sama-sama sekolah pasti menyenangkan.” Yingtai menjelaskan kepada Shanbo, “Di rumah saya ada seorang adik perempuan, sebenarnya ingin bersekolah bersama-sama dengan saya, menurut ayah karena dia seorang anak perempuan, maka tidak diizinkan. Menurut pandangan saya, wanita seharusnya boleh pergi sekolah di luar dan melihat dunia luar.” Shanbo sangat setuju pada pendapatnya. Mereka berdua bercakap-cakap dengan gembira, merasa menemukan sahabat karib. Shanbo mengusulkan pada Yingtai untuk mengikat diri sebagai kakak-adik, Yingtai berpikir sejenak, lalu menyetujuinya. Mereka berdua di paviliun berdoa pada langit mengikat hubungan sebagai kakak-adik. Shanbo berusia 20 tahun, satu tahun lebih tua dari Yingtai, sehingga Yingtai memanggil Shanbo “Kakak Liang”, sedangkan Shanbo memanggil Yingtai “Adik yang saleh”.
Mereka bersama-sama melanjutkan perjalanan. Setelah sampai di Hangzhou, ternyata mereka memiliki guru yang sama dan kelas yang sama. Mereka setiap waktu bersama, dalam belajar saling membantu, persahabatan mereka sangat mendalam.
Shanbo adalah seorang laki-laki yang lugu, tidak pernah menyadari bahwa Yingtai adalah seorang perempuan. Yingtai sebaliknya menyimpan rahasia di dalam hati, tidak menyingkap identitas dirinya sendiri. Tetapi ada satu-dua kali, Shanbo tanpa sengaja menyelidikinya, tetapi semuanya dapat dikelabui oleh kepandaian Yingtai.
Suatu kali, mereka berdua bermain ayunan di taman, Shanbo melihat kelemah-lembutan Yingtai, lalu berkata berkata sambil tersenyum,”Adik sungguh seperti seorang gadis.” Setelah Yingtai mendengar, segera turun dari ayunan, berkata,”Di rumah, ayah juga mengatakan saya demikian.”
Suatu kali, mereka berdua belajar bersama, Shanbo menemukan telinga Yingtai ada tanda pernah memakai anting-anting, lalu bertanya,”Kita belajar bersama sudah begitu lama. Hari ini baru menyadari ada lubang anting di telinga adik. Hanya anak perempuan yang telinganya ditindik, bagaimana ini bisa terjadi?” Wajah Yingtai memerah, berkata,”Kami keluarga Zhu setiap tahun mengadakan perayaan, orang-orang desa meminta saya di dalam perayaan tersebut berpura-pura menjadi wanita, lalu menindik telinga saya, kakak harus belajar dengan baik, bagaimana bisa tanpa sadar berbicara tanpa sebab.” Shanbo segera meminta maaf.
Seperti biasanya Shanbo memperlakukan Yingtai seperti seorang adik kandungnya sendiri, membimbing adiknya belajar, dan seringkali menggandeng tangannya dengan mesra mengajaknya pergi ke sungai Xihu untuk berenang. Setiap pada saat itu, Yingtai merasa wajahnya panas dan hatinya deg-degan, tetapi juga merasa sangat bahagia. Selain sebagai kakak-adik dan persahabatan di kelas, Yingtai terhadap Shanbo tumbuh semacam perasaan yang sulit dilukiskan. Mereka merasa tidak dapat meninggalkan satu sama lain.
Perpisahan
Angin musim semi yang bertiup setahun sekali meniup daun-daun di sebelah selatan hilir sungai Changjiang. Yingtai pergi sekolah sudah 3 tahun penuh. Telah datang beberapa pucuk surat dari rumahnya yang mendesaknya untuk pulang. Pada hari itu, Yinxin masuk membawa sepucuk surat lagi. Begitu Yingtai membacanya, ada kabar bahwa ayahnya telah jatuh sakit dan menyuruhnya segera pulang setelah menerima surat itu. Hati Yingtai sangat serba salah, ia terpaksa mengatakan pada Yinxin bahwa ia telah jatuh cinta pada Shanbo, sehingga tidak ingin berpisah dengannya. Yinxin menasehatinya agar mencari bantuan pada ibu guru.
Ibu guru adalah seorang wanita yang baik hati. Ia melihat Yingtai dengan wajah merah mencarinya, lalu bertanya pada Yingtai ada masalah apa. Setelah Yingtai terdiam beberapa waktu lamanya barulah memberitahukan ibu guru bahwa ia sebenarnya adalah seorang gadis, karena ingin sekolah maka ia menyamar sebagai laki-laki. Ibu guru tertawa, berkata,”Saya sudah mengetahuinya sejak awal.” Yingtai memberitahukan kegundahan hatinya pada ibu guru, kemudian ia menyerahkan sebuah bandulan kipas pada ibu guru dan berkata,”Tolong anda memberikannya pada kakakku Liang Shanbo, saya selamanya tidak akan melupakan kebaikan hati anda.” Ibu guru berkata,”Kamu pergilah dengan tenang, saya akan melakukannya untukmu. Kalian benar-benar adalah pasangan yang serasi.”
Liang Shanbo mendengar berita bahwa Yingtai akan pulang, ia merasa ini sangat tiba-tiba dan ia sangat bersedih, tapi ia tidak dapat menghalanginya, sehingga ia hanya bersedih di dalam hati.
Hari ketika Yingtai berangkat, Liang Shanbo mengantarnya, mereka berdua tidak ingin berpisah. Yingtai berpikir, hari ini berpisah dengan kakak Liang tidak tahu kapan baru bisa bertemu lagi. Yingtai ingin memberitahukan hal yang sebenarnya padanya, tetapi sulit untuk mengatakannya. Ketika ia sedang ragu-ragu, tiba-tiba terdengar bunyi “Cha-Cha.” ia mengangkat kepalanya dan melihat, rupanya ada sepasang burung murai yang bertengger di atas ranting. Hati Yingtai tergerak dan berkata pada Shanbo, “Kak Liang, lihatlah! Burung murai di atas pohon semuanya berpasangan, tetapi adik hari ini akan pulang seorang diri.” Shanbo berkata,”burung murai selalu membawa berita gembira, mungkin mereka datang untuk mengucapkan selamat jalan padamu, walaupun kamu pulang seorang diri, tetapi begitu tiba di rumah, kamu akan seperti burung-burung ini yang telah pulang ke hutan.” Yingtai melihat Shanbo tidak menangkap arti kata-katanya, sehingga ia bermaksud akan terus memberikan isyarat padanya bahwa dirinya adalah seorang gadis.
Setelah berjalan tidak terlalu jauh, mereka melihat seorang penebang kayu. Yingtai berkata lagi,”Penebang kayu menebang pohon demi istrinya, demi siapakah kakak Liang berjalan begitu jauh?” Tanpa berpikir panjang Shanbo langsung menjawab,”Tentu saja demi adik.”
Mereka melewati beberapa rumah penduduk, di halaman rumah mereka sedang bermekaran bunga peony yang beraneka warna, Shanbo sangat suka melihatnya. Yingtai berkata,”Kamu melihat bunga peony samakah dengan gadis yang cantik? Di rumah saya juga ada bunga peony yang cantik, bila Kak Liang menginginkannya, datanglah ke rumah saya untuk memetiknya.” Shanbo berkata,”Saya pasti akan ke rumah adik, sampai pada saat itu kita bisa menceritakan tali persahabatan ini sambil menikmati bunga.”
Mereka berjalan lagi, kemudian tiba di depan sebuah kolam, di atasnya terdapat banyak Yuanyang (angsa Cina) yang sedang berenang berpasang-pasangan. Yingtai berkata,”Kak Liang, apabila Yingtai adalah seorang gadis, aku ingin berdua dengan kak Liang seperti angsa ini yang tak terpisahkan.” Shanbo tersenyum. “Sayang kamu bukanlah seorang gadis.”
Mereka berdua tiba di tepi sebuah sumur, Yingtai menarik Shanbo ke permukaan sumur, Shanbo dengan heran berkata,”Kamu tidak meneruskan perjalanan, malahan menarik saya ke permukaan sumur, untuk apa?” Yingtai menunjuk ke dalam sumur dan berkata,”Lihatlah kedua bayangan itu, yang satu adalah laki-laki dan yang satu lagi adalah perempuan.” Shanbo salah paham lagi akan maksud Yingtai dan berkata,”Kenapa kamu sembarangan bicara, saya laki-laki, kenapa kamu mengibaratkan saya adalah seorang perempuan?”
Mereka melewati lagi sebuah sungai, di sungai itu terdapat sepasang angsa putih yang sedang berenang dengan posisi satu di depan dan satu di belakang. Yingtai menunjuk angsa itu dan berkata, “Kak Liang, kak Liang, lihatlah! Angsa betina itu mengikuti dari belakang angsa jantan yang namanya Kakak.” Shanbo berkata,”Adik jangan sembarangan bicara.“ Yingtai melihat Shanbo selalu tidak menangkap isyaratnya, hatinya sangat khawatir, lalu berkata,”Kakak Liang sama bodohnya dengan angsa itu!” Shanbo melerai lengan bajunya dan berkata, “Hari ini ada apa denganmu, sepanjang jalan kamu terus membandingkan sesuatu dengan saya?” Yingtai melihat Shanbo bukan saja tidak mengerti isi hatinya tetapi malah menjadi marah. Terpaksa Yingtai minta maaf dan berkata,”Kak Liang jangan marah, adik hanya ingin menjodohkan kakak.” Shanbo segera bertanya,”gadis manakah yang ingin adik jodohkan dengan saya?” “Ia adalah adik perempuan saya.” Yingtai memberitahukan Shanbo bahwa adik perempuannya mirip dengannya, juga sangat pintar. Setelah Shanbo mendengarnya ia sangat gembira, langsung menyetujuinya. Ketika berpisah, Yingtai berkali-kali menyuruh Shanbo segera melamar ke rumahnya.
Setelah Yingtai pergi, Shanbo sangat kesepian, ia setiap hari merindukan Yingtai. Pada hari itu, ia pergi mencari gurunya untuk minta izin karena akan pergi menjenguk Yingtai. Ibu guru memberikannya sebuah bandulan kipas dan berkata, “Ini adalah barang yang dititipkan Yingtai pada saya, sekarang saya serahkan padamu.” Shanbo bertanya,”Kenapa diberikan pada saya? Yingtai akan menikahi siapa?” Ibu guru tersenyum,”Yingtai adalah seorang gadis, adik perempuannya itu adalah dirinya sendiri, bodoh!” Setelah mendengarnya Shanbo tertegun beberapa saat. Ia mengingat situasi ketika mengantar Yingtai pergi, barulah ia menyadari maksud hati Yingtai. Dia sangat gembira, lalu segera membereskan barang-barangnya, setelah berpamitan dengan pak guru dan ibu guru, ia membawa Shutongnya segera pergi ke desa Zhu.
Kawin paksa
Setelah Yingtai pulang ke rumah, hatinya selalu merindukan Shanbo. Pada hari itu, ketika ia sedang bercakap-cakap dengan Yinxin di dalam kamar, tiba-tiba ayahnya masuk dengan raut wajah yang penuh kegembiraan dan berkata,”Berita gembira! Berita gembira! Selamat! kamu menikah dengan keluarga yang terpandang.” Yingtai terkejut dan bertanya,”Ayah telah menikahkan saya kepada orang lain?” Ayahnya menjawab,”Dia adalah putra keluarga Ma, Ma Wencai.” Tetapi hal yang membuat Tuan Zhu heran adalah anaknya tidak mau menikah dengan Ma Wencai. Tuan Zhu berpikir, keluarga Ma adalah keluarga pejabat, pernikahan yang begitu indah ini mengapa ditolak anaknya? Apakah anaknya telah jatuh cinta pada orang lain ketika sekolah di Hangzhou. Tuan Zhu bertanya,”Kamu berteman dengan siapa saja ketika belajar di Hangzhou?” Anak perempuannya hanya menundukkan kepala tidak menjawab. Tuan Zhu kemudian bertanya kepada Yinxin, Yingtai menyuruh Yinxin mengatakan sejujurnya. Yinxin kemudian mengatakan hal mengenai Yingtai mengangkat Shanbo sebagai saudara, dan minta dilamar ketika sudah pulang serta hal-hal lainnya. Setelah Tuan Zhu mendengarnya, ia sangat marah lalu berkata,”Bagaimana bisa kamu melakukan hal seperti itu? Sejak dulu tidak pernah ada gadis yang menentukan jodoh sendiri, lagipula keluarga Liang adalah keluarga rendahan yang sangat miskin. Saya tidak akan menyetujui hal ini.”
Yingtai melihat ayahnya bersikeras menjodohkannya pada keluarga Ma, ia sangat cemas dan benci, sehingga 3 hari ia tidak makan dan tidak keluar dari kamar. Ketika Tuan Zhu sedang khawatir, Yinxin tiba-tiba masuk dan berkata,”Liang Shanbo datang berkunjung.” Tuan Zhu dengan keras berkata,”Saya tidak mau bertemu!” Baru saja Yinxin membalikkan badan, Tuan Zhu berkata lagi pada Yinxin,”Persilakan ia masuk!”
Liang Shanbo masuk, Tuan Zhu berbasa-basi sebentar dengannya lalu menyuruhnya beristirahat di ruang belajar, kemudian menyuruh Yinxin memanggil Yingtai.
Setelah Yingtai mendengar Shanbo datang, duka hatinya berubah menjadi suka. Begitu memasuki ruang tamu, ia tidak melihat Shanbo, ia hanya melihat ayahnya duduk di situ. Tuan Zhu berkata,”Bukankah kamu sakit? Saya pikir kamu sebaiknya jangan bertemu dengannya!” Yingtai berkata,”Shanbo bermaksud baik menjenguk saya di sini, bagaimana mungkin saya tidak menemuinya?” Tuan Zhu berkata,”Tetapi kamu sekarang telah menjadi anggota keluarga Ma, tidak boleh sembarangan menampakkan diri di depan orang lain.” Yingtai berkata,”Saya tidak pernah menyetujui menikah dengan keluarga Ma!” Tuan Zhu dengan marah berkata,”Apakah kamu ingin saya mati karena marah?” Yingtai berkata,”Ayahlah yang ingin memaksa saya mati.” Setelah Tuan Zhu mendengar ia sangat marah dan tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia berpikir, bagaimana bila anaknya bunuh diri? Oleh karena itu, ia kembali menasehati Yingtai,”Kamu jangan bodoh, kamu juga harus memikirkan Shanbo, keluarga Ma adalah keluarga kaya dan berkuasa, bila mereka berkata sepatah kata saja, maka Shanbo akan ditangkap dan dibunuh…” Suara tangis Yingtai telah memutuskan kalimat Tuan Zhu.”Ayah tidak usah berkata lagi.” Tuan Zhu melihat Yingtai ketakutan kemudian berkata,”Kalian adalah kakak adik, maka bertemulah dengannya untuk yang terakhir kali. Kamu harus menasehatinya dan menyuruhnya untuk menikahi gadis lain, dan kemudian putus hubungan!.” Setelah selesai bicara ia menyuruh Yinxin memanggil Shanbo dan ia sendiri kemudian pergi dari situ.
Kematian
Ketika Liang Shanbo masuk dengan hati yang dipenuhi keceriaan, Zhu Yingtai mendongakkan kepala dan menyapanya,”Kakak Liang!” Walaupun mata Yingtai berkaca-kaca, Shanbo menduga hal ini disebabkan karena ia merasa terlalu bahagia. Shanbo berkata,”Saya dulu memanggil kamu adik laki-laki, sekarang saya harus memanggil kamu apa?” Yingtai berkata,”Dulu saya berdandan seperti laki-laki, sedangkan sekarang saya mengenakan pakaian wanita. Sekarang tentu kita harus memanggil dengan sebutan kakak dan adik perempuan.” Lalu Shanbo memanggilnya dengan sebutan adik perempuan dengan penuh kekeluargaan.
Dengan gembira Shanbo memberitahukan bahwa maksud kedatangannya adalah khusus untuk melamar Yingtai. Melihat Shanbo begitu mengibakan hati, perasaannya terluka. Yingtai menghela nafas panjang dan tak berkata apapun. Melihat hal ini Shanbo merasa aneh dan ia bertanya,”Mengapa adik tidak terlihat gembira.” Air mata mengalir tak tertahankan, Yingtai menjawab,”Ada hal yang membuat saya bersedih…” Shanbo bertanya, “Adakah hal yang harus disembunyikan di antara kita?” Yingtai dengan gemas berkata,”Kak Liang, kamu terlambat. Ayah telah menjodohkan saya dengan orang lain.” Kata-kata ini bagai petir menyambar di siang bolong, Shanbo merasa sangat terguncang, sehingga setelah beberapa saat baru sanggup mengucapkan sepatah kata,”Bagaimana kamu sanggup melupakan perasaan kita sebelumnya.” Yingtai memberitahukan bahwa hal ini merupakan perintah ayah yang sulit ditentang. Shanbo lalu menyerahkan sebuah bandulan kipas kepada Yingtai dan di hadapannya berkata,”Benda ini adalah peninggalan kamu, masa sih ini tidak berarti sama sekali.” Yingtai menjawab,”Ayah saya telah menerima hadiah pertunangan keluarga Ma, sudah sejauh ini benda apapun tak ada gunanya.” Lalu Shanbo berkata “Kalian keluarga Zhu benar-benar tidak bisa dipercaya, saya akan menuntut kalian.” Yingtai bertanya,”Menuntut siapa?” Shanbo menjawab,”Saya akan menuntut ayah kamu, Ma Wencai, dan kamu sendiri.” Yingtai berseru,”Jangan pernah melakukan hal itu, keluarga Ma adalah penguasa daerah, kamu akan kalah, lupakanlah saya dan menikahlah dengan orang lain.” Shanbo menjawab,”Peri khayangan sekalipun, saya tetap tak cinta.”
Yinxin menyajikan makanan dan minuman, Yingtai berkata,”Kak Liang, kamu telah datang kesini, tapi saya tak menghibur anda. Saya suguhkan makanan buat anda sebagai ungkapan perasaan hati saya.”
Shanbo mengingat kembali cinta dirinya dengan Yingtai selama 3 tahun yang saling menyayangi dan menghormati….. Dulu ketika mengantar Yingtai pulang ke rumah, ia tidak memahami berbagai isyarat yang dibuat oleh Yingtai. Sekarang di saat ia khusus datang untuk melamar, sudah terlambat. Ia adalah seorang cendikiawan miskin, pasti tak mampu bersaing dengan orang yang begitu kaya dan berkuasa seperti Ma Wencai. Kesedihan dan kemarahan yang memenuhi pikirannya tak dapat diungkapkan….. ia mengambil cawan arak dan mulai meneguknya.
Ketika arak memasuki tubuhnya, perasaannya semakin bersedih, ia terbatuk-batuk dan muntah darah. Menyaksikan hal ini Yingtai memapah Shanbo, ia menangis sedih,”Kak Liang, saya telah mencelakai kamu, janganlah merasa sedih.” Sambil memegangi tangan Yingtai, Shanbo berkata,”Adik, sejak kita berpisah setiap saat saya merindukan kamu, tak dapat makan maupun tidur. Saya merasa sangat senang, ketika mengetahui bahwa kamu sendiri memilih jodoh untuk dirimu sendiri. Tetapi hari ini saya menemukan kamu berubah, mana mungkin saya tidak bersedih?” Yingtai berkata, “Saya tahu niat baikmu, saya juga merindukan kamu. Ketika pulang ke rumah, saya tak mampu mengerjakan apapun, ketika sedang menyulam malah lupa benangnya, dan ketika membaca buku teringat padamu. Sejak ayah menjodohkan saya, saya hidup dalam kesedihan.” Shanbo berkata,”Asalkan kamu di samping saya, saya rela hidup tanpa kemewahan dan jabatan, tapi hari ini segalanya menjadi impian kosong.” Selesai berkata-kata ia bangkit dan berlalu. Yingtai mencegahnya pergi dan berkata,”Kamu pergi dalam keadaan begini.” Shanbo berkata dengan penuh kebencian,”Apakah saya harus mati disini?” Yingtai merasa sedih bagaikan diiris sembilu, ia menangis dan sambil berlutut di kaki Shanbo, ia berkata,”Hari ini kita akan berpisah, tapi walaupun demikian hati kita tak akan berpisah, hati saya milikmu selamanya.”
Sesampainya di rumah, Shanbo jatuh sakit terbaring di ranjang, tak makan dan minum. Dalam mimpinya sering menyebut nama Yingtai, dari hari ke hari penyakitnya bertambah parah. Ia menyadari hidupnya tak lama lagi. Karena selalu diburu pertanyaan oleh orang tuanya, ia memberitahukan keadaan sebenarnya kepada mereka. Ia berharap dapat menjumpai Yingtai sebelum kematiannya. Ibunya dengan berlinang air mata terpaksa pergi ke rumah keluarga Zhu untuk memberi kabar pada Yingtai.
Tetapi ibunya hanya dapat membawa pulang bingkisan kecil pemberian Yingtai, dan memberitahukan anaknya bahwa keluarga Zhu tak mengizinkan Yingtai untuk datang. Shanbo membuka bungkusan itu, di dalamnya terdapat puisi-puisi yang dibuat oleh Yingtai untuk dipersembahkan kepadanya, serta terdapat segumpal rambut Yingtai. Melihat benda-benda ini hatinya terasa sakit dan ia muntah darah lagi. Ia memberitahukan orang tuanya bahwa ia akan mati, dan berpesan agar makamnya terletak di antara jalan yang harus dilalui dari kediaman keluarga Ma, sehingga dari situ ia dapat melihat tandu pengantin Yingtai lewat. Selesai mengatakan hal ini nafasnya terputus, tangannya masih menggenggam rambut dan puisi Yingtai.
Setelah Yingtai mendengar berita kematian Shanbo, ia sangat bersedih hati siang dan malam, hingga air matanya telah kering, suara parau, sepanjang hari hanya duduk termenung saja, dan tak berbicara sepatah katapun. Karena khawatir akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan, Tuan Zhu mengusulkan agar memajukan hari pernikahan.
Kupu-kupu
Pada hari pernikahan, Tuan Zhu memaksa Yingtai naik ke tandu. Yingtai berkata,”Ayah menyuruh saya menikah, saya menurut. Tapi ayah juga harus berjanji satu hal pada saya.” Ayah lalu bertanya tentang hal apa. Yingtai berkata,”Bila melewati makam Shanbo, saya ingin memberi penghormatan terakhir.” Begitu mendengar hal ini, ayahnya langsung menolak. Yingtai lalu berkata,”Bila tak dikabulkan saya akan mati disini dan tak akan naik tandu.” Ayahnya berkata,”Saya akan berunding dengan pangeran Ma terlebih dahulu.”
Pada awalnya Ma Wencai menentang, tapi Tuan Zhu berkata,”Shanbo mati demi Yingtai. Saya khawatir bila tak diizinkan, kelak akan terjadi bencana.” Ma Wencai tak punya pilihan, lalu Yingtai naik tandu.
Ketika tandu sampai di makam Shanbo, Yingtai turun dan berlutut di hadapan makam Shanbo, sambil menangis ia berkata,”Kakak Liang, kita tak dapat hidup bersama, tapi saya ingin mati bersamamu. saya tidak ingin menikah dengan Ma Wencai, bila rohmu ada di bawah tanah ini, ajaklah saya pergi bersamamu.”
Pada saat itu, tiba-tiba bertiup angin kencang, diikuti oleh hujan lebat, suasana menjadi gelap, hanya terdengar suara petir,”Dar!” Makam terbelah membentuk retakan besar, Yingtai melompat ke dalam makam tersebut. Orang-orang dari segala penjuru bergerak maju untuk mencegahnya, tapi makam telah tertutup kembali. Yinxin bergerak mendekat, tapi hanya dapat menjangkau beberapa helai sisa potongan bajunya.
Hujan telah berhenti dan langit cerah. Matahari muncul dari sela-sela awan, di langit terbentuk secercah pelangi yang indah. Bunga-bunga bermekaran, embun yang berkilauan tergantung di dedaunan, burung-burung berkicau,”cit cit cit cit” Pada saat itu sepasang kupu-kupu besar muncul dari sela-sela bunga, mereka menari-nari dan saling berkejaran. Dimana-mana bunga dan rerumputan merunduk tersenyum kepada mereka.
Sepasang kupu-kupu besar ini merupakan penjelmaan dari roh Liang Shanbo dan Zhu Yingtai. Walaupun mereka telah meningal dunia, tapi di kehidupan lain, mereka saling menyayangi dan saling mencintai selamanya.***
Kaitannya dengan Indonesia
Sam Pek Eng Tay adalah sebuah film tahun 1931 yang disutradarai dan diproduseri The Teng Chun dan dirilis di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Film ini diadaptasi dari legenda Tiongkok Liang Shanbo dan Zhu Yingtai yang mengisahkan tragedi cinta antara seorang gadis kaya dan laki-laki jelata. Film ini sukses di pasaran dan menginspirasi The Teng Chun untuk menyutradarai beberapa film lagi yang diadaptasi dari mitologi Tiongkok.
Oleh: Richard
Tags: Liang, Shanbo, Zhu, Yingtai, Sampek, Engtay, butterply, lovers,aldisurjana_Liang_Shanbo_Zhu_yingtai_Sampek_Engtay, butterply_lovers